Secara historis,
tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara
berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat
inflasi antara 3% sampai 5% pada periode 2005-2014, Indonesia memiliki
rata-rata tingkat inflasi tahunan sekitar 8,5% dalam periode yang sama. Bagian
ini mendiskusikan mengapa tingkat inflasi Indonesia tinggi, menyediakan
analisis mengenai tren-tren terbaru, dan memberikan proyeksi untuk inflasi masa
mendatang di Indonesia yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia
Tenggara. Pada awal tahun 2015, Presiden Joko Widodo memiliki keuntungan karena
harga minyak mentah global telah turun dramatis sejak pertengahan 2014 karena
lambatnya permintaan global sedangkan suplai kuat karena angka-angka produksi
minyak yang terus-menerus tinggi di negara-negara OPEC dan revolusi gas shale
AS. Karenanya, Widodo memutuskan untuk melakukan tindakan yang berani.
Pada dasarnya
menghapus subsidi premium dan menetapkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per
liter untuk diesel. Pemerintah Indonesia tetap menentukan harga bensin dan
diesel (disesuaikan setiap kuartalnya) namun harga akan berfluktuasi sejalan
dengan harga internasional. Meskipun begitu, karena harga minyak mentah dunia
agak pulih di pertengahan pertama tahun 2015, inflasi Indonesia tetap tinggi di
pertengahan 2015 dan hanya mulai menurun di akhir 2014. Bank Indonesia tetap
memprediksi inflasi 2015 sekitar 4% (y/y). Karakteristik tingkat inflasi yang
tidak stabil di Indonesia menyebabkan deviasi yang lebih besar dibandingkan
biasanya dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia. Akibat dari
ketidakjelasan inflasi semacam ini adalah terciptanya biaya-biaya ekonomi,
seperti biaya peminjaman yang lebih tinggi di negara ini (domestik dan
internasional) dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Harga-harga bahan
pangan sangat tidak stabil di Indonesia (rentan terhadap kondisi cuaca) dan
kemudian meletakkan beban yang besar kepada rumah tangga-rumah tangga yang
berada di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan. Rumah tangga-rumah
tangga ini menghabiskan lebih dari setengah dari pendapatan yang bisa
dibelanjakan mereka untuk makanan, terutama beras. Oleh karena itu, harga-harga
makanan yang lebih tinggi menyebabkan inflasi keranjang kemiskinan yang serius
yang mungkin meningkatkan persentase penduduk miskin. Panen-panen yang gagal
dikombinasikan dengan reaksi lambat dari Pemerintah untuk menggantikan
produk-priduk makanan lokal dengan impor adalah penyebab tekanan inflasi.
Sumber:
http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/inflasi-di-indonesia/item254